Sejarah itu mempunyai arti yang sama dengan history (Inggris), Geschichte (Jerman), dan Gescheidenis (Belanda) yaitu cerita tentang peristiwa dan kejadian pada masa lampau (Hugiono, 1987:1), benar-benar terjadi dan kejadian itu hanya sekali terjadi tidak dapat terulang lagi (Kartodirdjo, 1992:15). Namun sungguh pun demikian sejarah itu tidak “berhenti” pada masa lampau itu sendiri, Romein dan Wertheim menyatakan history as a continuity and change (Sardiman, 2005:9).
Sejarah selalu memiliki tiga dimensi waktu yaitu masa lampau, masa kini dan masa depan. Mengutip kiasan yang dikemukakan Kuntowijoyo (Direktorat PLP, 2005:39), kajian sejarah itu seperti orang naik kereta api yang melihat ke belakang. Ia bisa melihat ke kiri dan dan ke kanan namun tidak bisa melihat ke depan, padahal kereta api terus bergerak ke depan meninggalkan kelampauan. Walaupun sejarah itu terus bergerak tetapi kita masih dapat menemukan jejaknya, karena sejarah itu memiliki simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut, apakah berwujud lagu perjuangan, tokoh, bendera pusaka, atau benda-benda peninggalan sejarah lainnya, adalah sarana dialog kita yang hidup pada masa kini dengan masa lampau, dalam rangka menyongsong masa depan. Sejarawan Belanda Prof. P. Geyl. menyatakan sejarah adalah dialog. Dialog yang dimaksudkan untuk menyelami kejadian pada masa lampau, untuk memelihara kekuatan pembangkit dan penggerak semangat untuk meneruskan cita-cita .
Belajar sejarah memberikan manfaat bagi manusia. Manfaat belajar sejarah secara garis besar ada dua yaitu manfaat intrinsik dan ekstrinsik. Manfaat instrinsik antara lain; sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cara mengetahui masa lalu, sejarah sebagai pernyataan pendapat dan sejarah sebagai profesi. Sedangkan manfaat ekstrinsik terkait dengan proses penanaman nilai, proses pendidikan. Wang Gungwu dalam Sardiman (2004) menegaskan sejarah sangat terkait dengan dimensi moral, seorang yang belajar sejarah akan terlatih berpikir kritis, berpikir sebab akibat (kausalitas).
Urgensi pengajaran sejarah dalam proses pendidikan juga dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain; John Tosh mengemukakan sejarah merupakan gudang pengalaman yang digunakan untuk membangun kesadaran identitas social dan prospel di masa depan. Arthur Marwick mengatakan bahwa adanya pengetahuan tentang masa lampau memungkinkan individu dan masyarakat memiliki orientasi di tengah-tengah arus yang membingungkan dari keanekaragaman umat manusia. Sedangkan Langlois dan Seignobos menyatakan bahwa sejarah membuat orang biasa dengan keragaman bentuk social, dan menyembuhkan kita dari rasa takut yang tidak wajar akibat perubahan (Direktorat PLP, 2005:42) .
Mengingat pentingnya tujuan pengajaran sejarah, seharusnya dalam proses belajar mengajarnya dilaksanakan memberikan tendensi pada internalisasi nilai-nilai yang akan membentuk pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan kausalitas. Agar “proses berpikir” terlatih sejak dini maka pembelajaran sejarah harus memberikan “space” yang luas bagi para siswa untuk berpikir. Berpikir itu sendiri merupakan keterampilan operasional dilakukan secara sadar dimana yang memungkinkan intelegensi bekerja atas dasar eksplorasi pengalaman (De Bono, Edward, 1992:36).
Namun sayangnya pengajaran sejarah sebagai sarana menginternalisasikan nilai-nilai, belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kurikulum yang ditetapkan pemerintah masih sarat dengan identitas sejarah sebagai materi hapalan dan sarat dengan bahan ajar. Akibatnya guru kesulitan mengembangkan pembelajaran yang dinamis. Akhirnya pembelajaran menjadi kurang bermakna, karena kegiatan pembelajaran condong mengejar materi daripada mendorong makna memahami dan menghayati makna pelajaran yang sedang di pelajari. Pengembangan pembelajaran sejarah cenderung kognitif, model pembelajaran ekspositoris menyebabkan siswa bosan mempelajari sejarah. Di samping itu penganaktirian mata pelajaran sejarah di sekolah, juga memberikan kontribusi yang besar dalam menciptakan pembelajaran sejarah menjadi seolah “tak bermakna” (Supardi, http : // pardi 74 .multiply. com / journal / item / 4 / menyoal_hari_kebangkitan_nasional dikutip download tanggal 27 November 2008).
Kesalahan dalam proses pengajaran sejarah menimbulkan dampak serius bagi perkembangan suatu nation termasuk Indonesia. Berbagai persoalan bangsa yang mengemuka saat ini seharusnya dapat direduksi apabila bangsa ini memiliki kesadaran sejarah, karena dari kesadaran tersebut berarti kita bisa belajar dari pengalaman-pengalaman kolektif sebagai bangsa. lemahnya kesadaran kolektif (collective consciousness) berarti lemahnya kesadaran sejarah. Lemahnya kesadaran sejarah hampir pasti adalah buah dari kesalahan proses pembelajaran sejarah di sekolah.
Belajar dari kenyataan ini, maka sudah sepatutnya kita mempertanyakan bagaimana proses transferisasi dan sosialisasi simbol-simbol sejarah itu berlangsung. Bagaimana proses itu berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan, formal maupun nonformal. Adakah yang salah dalam proses pengajaran sejarah?
Sejarawan Universitas Udayana, Nyoman Wijaya, menyatakan pemerintah terkesan membiarkan atau pura-pura tidak tahu bahwa sebagian besar guru sejarah hanya mengajarkan sejarah, mengabaikan pendidikan sejarah. Implikasi lebih luas sistem pengajaran seperti itu terlihat pada tingkat pengetahuan anak didik mengenai sejarah. Umumnya pengetahuan mereka hanya terbatas pada peristiwa apa yang telah terjadi pada masa lampau, di mana dan kapan suatu peristiwa terjadi. Sesungguhnya, menurut sejarawan itu, sejarah bukan semata-mata hafalan: apa, dimana, dan kapan. Ada yang lebih penting, yakni mengapa dan bagaimana suatu peristiwa terjadi.
Proses transferisasi dan sosialisasi simbol-simbol sejarah memang tidak hanya melalui pengajaran sejarah di lembaga-lembaga pendidikan. Tetapi porsi terbesar memang ada di sekolah. Lalu apa yang harus dibenahi? Jika yang menjadi penyebabnya proses pembelajaran, maka reformasi pembelajaran sejarah di sekolah harus segera dimulai dengan meninjau kembali pendekatan pembelajaran yang sudah digunakan selama ini. Alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran sejarah adalah dengan Contextual Teaching and Learning. Salah satu variasi implementasi CTL adalah melalui kunjungan siswa ke Museum. Sebagaimana Hugiono (1987:30) menyatakan bahwa salah satu tempat untuk mendapatkan informasi sejarah adalah museum.
2. Permasalahan
Bagaimana mengembangkan pembelajaran CTL mata pelajaran sejarah melalui kunjungan ke museum?
3. Pembahasan
a. Fungsi Museum
Secara etimologis, museum berasal dari kata Yunani, mouseion, yang sebenarnya merujuk kepada nama kuil pemujaan terhadap Muses, dewa yang berhubungan dengan kegiatan seni. Muses adalah salah satu dari sembilan Dewi yang lahir dari maha Dewa Zous dengan isterinya Mnemosyne.
Dewa dan Dewi tersebut bersemayam di Pegunungan Olympus. Museion selain tempat suci, pada waktu itu juga untuk berkumpul para cendekiawan yang mempelajari serta menyelidiki berbagai ilmu pengetahuan, juga sebagai tempat pemujaan Dewa Dewi.
Pengertian Museum dewasa ini adalah
"Sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan pengembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang pembuktian manusia dan lingkungannya". (Definisi menurut ICOM = International Council of Museeum / Organisasi Permuseuman Internasional dibawah Unesco). Museum merupakan suatu badan yang mempunyai tugas dan kegiatan untuk memamerkan dan menerbitkan hasil-hasil penelitian dan pengetahuan tentang benda-benda yang penting bagi Kebudayaan dan llmu Pengetahuan.
Musem mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Pusat Dokumentasi dan Penelitian llmiah 2. Pusat penyaluran ilmu untuk umum 3. Pusat penikmatan karya seni 4. Pusat perkenalan kebudayaan antar daerah dan antar bangsa 5. Obyek wisata 6. Media pembinaan pendidikan kesenian dan llmu Pengetahuan 7. Suaka Alam dan Suaka Budaya 8. Cermin sejarah manusia, alam dan kebudayaan 9. Sarana untuk bertaqwa dan bersyukur kepada Tuhan YME. (http://www.petra.ac.id/eastjava/culture/museum.htm)
b. Perlunya Reform Pengajaran Sejarah di Sekolah
Kebosanan siswa dalam belajar sejarah disebabkan oleh banyak variable diantaranya; cara mengajar guru yang monoton atau kurang bervariasi, Kurangnya media pembelajaran, materi yang abstrak dan sulit mencari contoh. Tetapi sebenarnya hal ini dapat diatasi dengan melaksanakan pembelajaran sejarah dalam “kemasan” yang sedikit berbeda. Kadang-kadang dalam proses belajar mengajar siswa perlu diajak keluar sekolah, untuk meninjau tempat tertentu atau obyek yang lain. Hal ini bukan sekedar rekreasi, tetapi untuk belajar dan memperdalam pelajarannya dengan melihat kenyataan yang sesungguhnya.
Teknik mengajar sejarah dengan melakukan kunjungan ke obyek tertentu disebut juga teknik karyawisata, yaitu cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau obyek tertentu di luar sekolah untuk mempelajari/menyelidiki sesuatu, kunjungan ke museum misalnya. Kelebihan metode karyawisata adalah:
1. Karyawisata memiliki prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran
2. Membuat apa yang dipelajari di sekolah lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan dimasyarakat
3. Pengajaran serupa ini dapat lebih merangsang kreatifitas siswa
4. Informasi sebagai bahan pelajaran lebih luas dan actual (Djamarah dan Aswan Zain, 2006:93-94).
Perlunya reform dalam pengajaran sejarah juga direkomendasikan oleh Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dalam suatu penggalan tulisan berikut ini:
Kompas, Humaniora, Rabu 16 Agustus 2006
Metode Pengajaran Sejarah Diubah
(Kunjungan Bangkitkan Minat Siswa)
Pangkal Pinang, Kompas - Metode pengajaran pelajaran sejarah perlu diubah, dari transfer ilmu guru ke murid dan menghafal catatan menjadi pengenalan situs di lapangan, dan penumbuhan kecintaan terhadap nilai-nilai sejarah. Perubahan metode itu penting agar pelajaran sejarah tidak lagi membosankan tetapi menjadi menarik karena para siswa dapat berdiskusi secara langsung dan memaknai sendiri sejarah nenek moyang mereka.
Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Hari Kuntoro Drajat, menjelaskan dalam forum Lawatan Sejarah Nasional IV, Selasa (15/8), di Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, pengalaman siswa mengunjungi situs sejarah yang berada di dekat tempat tinggal mereka akan berdampak secara psikologis terhadap bangkitnya minat terhadap peristiwa sejarah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kunjungan ke situs sejarah juga dapat membantu siswa menyerap situasi kejiwaan yang terjadi di kala itu. Pola pengajaran sejarah dengan mengandalkan ingatan terhadap catatan dari guru akan segera hilang setelah pelajaran itu usai. Padahal, penanaman nilai merupakan tujuan pokok pelajaran itu, tak sekadar menghafal. (eca/KEN)
Alasan lain mengapa pengajaran sejarah itu harus diubah kemasannya adalah dalam rangka mengurangi kebosanan. Cara yang dapat digunakan adalah dengan menciptakan pembelajaran sejarah yang menyenangkan (Funny Learning). Funny Learning hanya bisa diciptakan melalui beragam kreativitas, baik dalam pemilihan waktu, tempat, penataan suasana hingga pemakaian metode pembelajarannya. Kreatifitas dapat menghilangkan kejenuhan dan menimbulkan gairah keingintahuan, tantangan dan semangat baru. Itu sebabnya semakin beragam suasana pembelajaran bisa dirancang semakin besar potensi otak untuk merekam informasi sebaik-baiknya. (Istadi, 2005:8).
Seorang sejarawan secara implisit dalam sebuah tulisannya juga menyatakan “Saya tahu pasti saudara-saudara dapat menunjukkan contoh-contoh tempat historis di daerah saudara. Dengan sedikit niat dan hasrat ingin tahu ditambah imajinasi kita dapat berkunjung ke zaman lampau seperti apa yang masih berbekas di sekitar kita. Apalagi sejarah mulai diajarkan dengan menceritakan tradisi lisan, folklore dan sejarah lokal kepada anak didik timbul rasa jemu dengan menghafal rentetan tahun-tahun, atau sejarah dihubungkan dengan hal-hal yang serba berdebu, penuh cendawan dan mati (Kartodirdjo, 1992:25-26)
c. Pendekatan Contextual Teaching and Learning
Ada beberapa pendekatan dalam proses pembelajaran aktif yang sering kita dengar, misalnya CBSA, Active Learning, Accelerated Learning, Cooperative Learning, Contextual Teaching and Learning (CTL) lain sebagainya. Apapun namanya kesemuanya ini memiliki tujuan yang sama yaitu optimalisasi belajar dengan understanding bukan memorizing. Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat. (Blanchard, 2001 dalam Direktorat PLP, 2005))
Rasionalitas
Contextual teaching and learning (CTL) merupakan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa sehingga siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Proses belajar anak dalam belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Transfer belajar; anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Siswa sebagai pembelajar; tugas guru mengatur strategi belajar dan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, kemudian memfasilitasi kegiatan belajar. Pentingnya lingkungan belajar; siswa bekerja dan belajar secara di panggung guru mengarahkan dari dekat.
d. Kunjungan ke Museum Variasi Implementasi Contextual Teaching and Learning
Pembelajaran Sejarah
Salah satu variasi implementasi CTL dalam pembelajaran sejarah adalah dengan melakukan kunjungan ke museum. Dengan melakukan kunjungan ke museum 7 pilar CTL dapat diterapkan. 7 pilar yang membangun CTL adalah; konstruktivisme, inquiry, questioning, learning community, modeling, reflection dan authentic assessment.
1. Konstruktivisme, konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan. Kunjungan ke museum sangat memungkinkan terjadinya proses konstruktivisme dalam diri siswa karena mereka mendapatkan pengalaman belajar secara langsung.
2. Tanya jawab, dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, sedangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain. Kunjungan ke museum memberikan peluang yang sangat besar dalam menciptakan suasana Tanya jawab. Tanya jawab ini bisa terjadi pada saat melakukan pengamatan terhadap benda-benda koleksi museum, baik kepada petugas museum yang membimbing, guru pembimbing maupun sesame siswa sendiri. Proses Tanya jawab biasanya berlangsung dalam suasana yang rilek bukan dalam suasana yang formil di kelas.
3. Inkuiri, merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi; observasi, tanya jawab, hipoteis, pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan. Kunjungan ke museum memberikan “space” yang sangat luas pada siswa untuk “menemukan sendiri” berbagai pengetahuan. Mengapa hal ini sangat mungkin? Karena para siswa melakukan observasi sendiri, menginvestigasi, menganalisis dan membangun konsep sendiri.
4. Komunitas belajar, adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Prakteknya dapat berwujud dalam; pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas di atasnya, bekerja dengan masyarakat. Dalam konteks kunjungan ke museum, komunitas belajar jelas terbentuk. Biasanya guru yang membimbing siswa ke museum akan membagi siswa dalam beberapa kelompok kecil. Hal ini memberikan manfaat ganda, disamping memungkinkan terbentuknya komunitas belajar juga memudahkan mengkoordinir siswa selama kunjungan berlangsung.
5. Pemodelan, dalam konsep ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajar atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media cetak dan elektronik atau media lainnya seperti benda-benda bersejarah. Kunjungan ke museum memungkinkan pemodelan terjadi. Petugas museum bisa menggantikan peran guru untuk sementara menjelaskan berbagai permasalahan yang dibahas selama kunjungan.
6. Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya adalah; pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya. Kunjungan ke museum biasanya akan menghasilkan karya siswa berupa laporan hasil kunjungan yang dibuat berdasarkan pengalaman selama melakukan kunjungan.
7. Penilaian otentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa. Laporan hasil kunjungan dapat menjadi bahan penilaian secara otentik.
e. Kesimpulan
Pembelajaran sejarah yang lebih bermakna dapat dilakukan dengan menerapkan salah satu pembelajaran aktif yaitu Contextual Teaching and Learning. Penerapan konsep pembelajaran CTL ini dapat dilakukan di dalam maupun di luar kelas. Hal yang terpenting yang harus diingat bahwa CTL harus menerapkan prinsip-prinsip mendekatkan siswa pada dunia nyata. Penerapan pendekatan CTL di luar kelas salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan kunjungan ke museum. Kunjungan ke museum pembelajaran sejarah dengan pendekatan CTL juga dapat menerapkan pilar-pilar pembelajaran aktif yaitu konstruktivisme, inquiry, questioning, learning community, modeling, reflection dan authentic assessment.
Daftar Pustaka
AM, Sardiman. 2004. Memahami Sejarah. Kerjasama Fakultas Ilmu Sosial UNY dengan Bigraf Publishing. Yogyakarta.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain.2006.Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta.
De Bono, Edward. 1992. Mengajar Berpikir. Erlangga. Jakarta.
Depdiknas Dirjen Dikdasmen Direktorat PLP. 2005. Ilmu Pengetahuan Sosial. Depdiknas. Jakarta.
Hugiono dan P.K. Poerwantana.1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Bina Aksara. Jakarta.
Istiadi, Irawati. 2005. Agar Anak Asyik Belajar. Pustaka Inti. Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono.1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Gramedia Pustama Utama. Jakarta.
Kompas, Humaniora, Rabu 16 Agustus 2006. Jakarta ( Metode Pengajaran Sejarah Diubah (Kunjungan Bangkitkan Minat Siswa)
Supardi, http : // pardi 74 .multiply. com / journal / item / 4 / menyoal_hari_kebangkitan_nasional dikutip download tanggal 27 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar